Pontianak, 31 Agustus 2025 – Keputusan TikTok untuk menonaktifkan fitur LIVE sementara di Indonesia sejak Sabtu, 30 Agustus 2025, terus menuai polemik. Pihak TikTok menyebut langkah ini diambil demi menjaga keamanan dan kenyamanan pengguna di tengah situasi sosial yang sedang memanas. Namun, publik justru bertanya-tanya apakah kebijakan ini benar-benar murni bersifat teknis atau ada kepentingan lain yang ditutupi.
Indonesia dikenal sebagai salah satu pasar terbesar TikTok dengan lebih dari seratus juta pengguna aktif. Fitur LIVE di platform ini bukan sekadar sarana hiburan, melainkan juga ruang interaksi sosial, promosi, bahkan ladang ekonomi bagi banyak kreator. Karena itu, penonaktifan sementara fitur LIVE bukanlah keputusan kecil, melainkan langkah besar yang langsung berdampak pada jutaan orang, terutama kreator yang selama ini menggantungkan interaksi dan penghasilan dari siaran langsung.
Penutupan fitur ini diumumkan hanya beberapa jam setelah meningkatnya eskalasi aksi massa di depan sejumlah gedung DPRD daerah. Aksi yang digelar sejak akhir Agustus berawal dari protes kebijakan baru pemerintah, namun semakin hari semakin memanas hingga menimbulkan bentrokan dengan aparat. Dalam beberapa kasus, jatuh korban luka bahkan korban jiwa. Fakta ini membuat publik mencurigai bahwa penghentian fitur LIVE tidak semata-mata soal keamanan digital, tetapi juga bisa jadi strategi untuk mereduksi liputan langsung dari lapangan yang kerap diunggah masyarakat melalui TikTok.
Selama ini, siaran langsung di TikTok sering kali berperan sebagai “mata alternatif” masyarakat. Di saat media arus utama membatasi atau menyaring informasi, fitur LIVE memberikan akses real-time bagi publik untuk menyaksikan langsung jalannya demonstrasi, bentrokan, hingga suara-suara kritis yang seringkali tidak mendapat ruang. Dengan fitur itu, mahasiswa, aktivis, hingga warga biasa dapat menyuarakan kondisi di lapangan tanpa harus menunggu liputan resmi media. Kini, dengan dimatikannya LIVE, ruang alternatif tersebut seolah ikut dipersempit.
Meski begitu, TikTok menegaskan bahwa kebijakan ini hanya bersifat sementara. Mereka memastikan fitur lain seperti unggahan video pendek, komentar, serta interaksi di platform tetap berjalan normal. Perusahaan juga berjanji akan terus memantau situasi dan menghapus setiap konten yang dinilai melanggar aturan komunitas. Namun, tidak ada kepastian kapan fitur LIVE akan kembali diaktifkan. Hal ini semakin memperkuat kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa diperpanjang tanpa batas waktu dengan alasan yang sama.
Di kalangan akademisi dan mahasiswa, muncul perdebatan hangat mengenai makna dari penonaktifan LIVE ini. Sebagian pihak menilai keputusan tersebut memang tepat sebagai langkah preventif untuk menghindari penyebaran hoaks, provokasi, atau konten yang memperkeruh keadaan. Namun, sebagian lain menganggapnya sebagai bentuk pembungkaman digital yang membatasi hak warga negara dalam mengakses informasi secara langsung.
Dalam lanskap demokrasi digital, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar apakah platform media sosial hanya sekadar entitas bisnis, ataukah mereka juga punya tanggung jawab moral untuk memastikan kebebasan berekspresi tetap terjaga? TikTok, dengan jumlah penggunanya yang masif di Indonesia, kini berada di tengah pusaran kontroversi. Di satu sisi mereka ingin menjaga reputasi dan keamanan platform, di sisi lain mereka tidak bisa mengabaikan bahwa keputusan ini punya dampak politis yang signifikan.
Gelombang kritik juga muncul dari komunitas kreator konten. Banyak kreator yang mengaku kehilangan ruang ekspresi dan interaksi langsung dengan audiens. Mereka merasa bahwa alasan “demi kenyamanan pengguna” terlalu abstrak, sementara kerugian ekonomi akibat kehilangan peluang siaran langsung sangat nyata. TikTok LIVE selama ini bukan hanya soal hiburan, melainkan juga sumber penghasilan melalui fitur donasi dan interaksi virtual. Dengan penutupan ini, banyak kreator merasa dirugikan tanpa ada kompensasi yang jelas.
Publik kini menunggu langkah lanjutan dari TikTok. Apakah perusahaan benar-benar akan mengembalikan fitur LIVE dalam waktu dekat, atau justru menunggu sampai situasi politik di lapangan benar-benar reda. Jika kebijakan ini berlangsung terlalu lama, bukan tidak mungkin akan muncul gerakan protes dari komunitas digital sendiri yang merasa ruang kebebasannya semakin dibatasi.
Pada akhirnya, isu penonaktifan LIVE TikTok di Indonesia bukan hanya soal teknologi atau keamanan digital. Ia adalah cermin bagaimana dunia maya tidak pernah bisa lepas dari dinamika politik dan sosial di dunia nyata. Media sosial bisa menjadi ruang demokrasi alternatif, tetapi juga bisa dijadikan alat untuk menutup informasi tertentu. Publik berhak bertanya, apakah kebijakan ini murni langkah pencegahan atau justru strategi untuk mengaburkan realitas aksi besar yang sedang berlangsung di jalanan.
Editor: Riyan