Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Pondok ke Kampus Kisah Perjalanan Dakwah Ahmad Febrian di LDK As Salam

Jumat, 12 Desember 2025 | Desember 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-12T22:08:07Z


Setiap perjalanan hidup manusia selalu memiliki jejaknya sendiri. Ada yang ditempa oleh kemewahan, ada pula yang dibentuk oleh kesederhanaan dan rindu yang panjang. Bagi Ahmad Febrian, mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Pontianak, perjalanan itu dimulai jauh sebelum ia mengenal dunia kampus. Jejak awalnya bermula di sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota, yaitu Pondok Pesantren Al-Mujahidin, Kabupaten Ketapang. Di sanalah, di antara tembok-tembok sederhana dan halaman yang menjadi saksi, dirinya ditempa oleh waktu, kesabaran, dan pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan.

Ketika sebagian remaja seusianya masih menghabiskan hari dengan keluarga, Ahmad harus belajar hidup jauh dari rumah. Pondok bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan ruang pendewasaan yang nyata. Setiap hari ia berhadapan dengan rasa rindu, dengan rutinitas yang kadang terasa berat, dengan keterbatasan yang mengajarkan arti syukur. Di pondok ia belajar bahwa kesabaran tidak lahir dari kata-kata indah, melainkan dari ujian yang datang tanpa pemberitahuan. Ia juga belajar tentang keikhlasan, bahwa berjuang menuntut ilmu adalah ibadah yang memerlukan hati yang tenang dan tekad yang kuat. Dari rindu yang tidak pernah pudar hingga malam-malam panjang yang diisi doa, semua itu membentuk perjalanan spiritual dan emosional yang kelak menjadi pondasi ketika ia melangkah ke jenjang yang lebih tinggi.


Ketika masa pondoknya berakhir, Allah membukakan pintu baru. Ahmad diterima di IAIN Pontianak, memasuki dunia kampus yang sangat berbeda dari kehidupan pesantren. Jika di pondok ia ditempa oleh kedisiplinan, di kampus ia ditantang untuk beradaptasi dengan cara berpikir yang lebih luas dan lingkungan yang jauh lebih dinamis. Namun sejak awal ia menyadari bahwa menjadi mahasiswa bukan sekadar datang ke kelas, mencatat materi, dan pulang. Ia ingin lebih. Ia ingin terlibat, berkontribusi, dan menjadi bagian dari sesuatu yang memiliki tujuan serta nilai yang sejalan dengan prinsip hidupnya.


Pilihan itu kemudian membawanya kepada Lembaga Dakwah Kampus As Salam. Bagi Ahmad, LDK As Salam bukan sekadar organisasi, melainkan tempat ia bisa terus dekat dengan nilai-nilai Islam, bertemu dengan orang-orang yang memiliki semangat dakwah, dan membangun lingkungan pertemanan yang bernilai ibadah. Di sinilah ia menemukan rumah kedua ruang yang mempertemukannya dengan saudara seperjuangan, dengan kegiatan yang membentuk karakter, dan dengan persaudaraan yang tidak sekadar terjalin di ruang rapat, tetapi juga di hati masing-masing pengurus dan kadernya.


Perjalanan dalam organisasi ini tidak selalu mudah, namun justru karena itulah ia sangat berarti. Rapat demi rapat, program yang harus direncanakan, kegiatan yang harus dijalankan, semua itu menjadi fase yang mengasah kedisiplinan dan tanggung jawabnya. Dari seorang kader yang masih belajar memahami ritme organisasi, Ahmad perlahan berkembang menjadi bagian penting dalam perjalanan dakwah As Salam. Dan pada tahun 2025, amanah lebih besar pun datang. Ia dipercaya menjadi pengurus LDK As Salam, khususnya di bidang Humas dan Media. Sebuah amanah yang tidak pernah ia minta, namun ia terima dengan penuh rasa syukur dan kehati-hatian.


Banyak orang mengira bahwa tugas media hanyalah soal desain dan publikasi. Seakan-akan membuat poster atau merapikan feed hanyalah pekerjaan teknis yang tidak membutuhkan perjuangan. Namun bagi Ahmad, di dalam lembaga dakwah, setiap karya visual memiliki makna yang jauh lebih dalam. Desain bukan hanya soal estetika, melainkan sarana untuk menyampaikan pesan kebenaran. Setiap warna, tiap huruf, dan setiap konten yang diunggah adalah amanah untuk menyebarkan dakwah, bukan sekadar mempercantik tampilan.


Dalam proses menjalankan tugas itu, tentu tidak semuanya berjalan mulus. Ada hari-hari ketika lelah terasa menusuk. Ada kritik yang datang menghantam, kadang membuat hati goyah. Ada juga keraguan yang muncul secara tiba-tiba, membuatnya bertanya apakah perjuangan ini benar-benar berarti. Namun di balik semua itu, Ahmad menemukan hikmah yang sangat besar. Ia belajar bahwa dakwah bukan jalan yang dilapisi bunga, tetapi jalan panjang yang penuh ujian. Kritik bukan tanda kegagalan, tetapi guru yang menguatkan. Lelah bukan alasan untuk berhenti, tetapi bukti bahwa ia sedang bergerak dalam kebaikan. Dan setiap amanah, sekecil apa pun, adalah tanda bahwa Allah mempercayakan sesuatu kepadanya.


Waktu terus berjalan, dan semakin lama, Ahmad semakin memahami bahwa LDK As Salam bukanlah ruang yang singgah sementara. Ia adalah tempat bertumbuh, tempat menempa diri, dan tempat menemukan keluarga baru yang tidak akan pernah dilupakan. Di organisasi ini ia belajar bahwa persaudaraan bukan sekadar panggilan, melainkan rasa yang tumbuh dari perjuangan bersama. Ia belajar bahwa amanah tidak selalu ringan, tetapi selalu bermakna. Dan ia belajar bahwa setiap langkah kecil dalam dakwah memiliki nilai yang tidak dapat diukur oleh siapapun.


Ketika ia menengok kembali perjalanan hidupnya dari pondok di Ketapang hingga ruang-ruang rapat di Pontianak—ia menyadari bahwa tidak ada satu pun yang sia-sia. Setiap kesabaran yang terlatih di pondok, setiap rindu yang ia tahan, setiap tugas kampus yang ia jalani, setiap kritik yang ia terima dalam dakwah, semuanya menyatu membentuk dirinya hari ini. Sebuah pribadi yang lebih kuat, lebih matang, dan lebih siap untuk terus melangkah.


Perjalanan Ahmad belum selesai. Dakwah tidak pernah berakhir hanya karena masa jabatan berganti. Namun satu hal yang ia yakini: dirinya pernah menjadi bagian dari LDK As Salam, sebuah rumah dakwah yang mengajarkannya arti perjuangan, persaudaraan, dan pengabdian. Dan pengalaman itu akan selalu menjadi bagian paling berharga dalam langkah hidupnya ke depan


Penulis : Ahmad Febryan

×
Berita Terbaru Update